Asuhan Keperawatan pada Tn. M
Dengan Gangguan Sistem Pernafasan: Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Rizky Kurnialita
1510711060
Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jakarta
Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan
2017
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih
lagi maha penyayang, kita panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah tentang “Asuhan Keperawatan Pada Tn. M Dengan Gangguan
Sistem Pernafasan: Penyakit Paru Obstruksi Kronis”.
Makalah ini telah saya susun secara
maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya menyampaikan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu, saya
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
Jakarta,
24 Mei 2017
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR i
Daftar
Isi ii
BAB
I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1
D. Manfaat 2
BAB
II TEORI 3
A. Definisi 3
B. Etiologi 3
C. Manifestasi Klinis 4
D. Patofisiologi 4
E. Klasifikasi 5
F. Pemeriksaan Penunjang 6
G. Komplikasi 6
H. Penatalaksanaan Medis 6
BAB
III TINJAUAN KASUS 8
A. Data Fokus 8
B. Analisa Data 8
C. Diagnosa 10
D. Intervensi 10
BAB
IV PENUTUP 12
A. Kesimpulan 12
B. Saran 12
DAFTAR
PUSTAKA 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit
obstruksi jalan nafas karena bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut
umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian
bersifat reversible. Bronkitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap
hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3bulan berturut-turut dalam
satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan
anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara
(Mansjoer, 2000).
Data
dari World Health Organization (WHO)
menyebutkan, pada tahun 2010 diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan
keempat sebagai penyebab kematian. Prevalensi terjadinya kematian akibat rokok
pada penyakit paru obstruksi kronis pada tahun 2010 sebanyak 80-90% (Kasanah,
2011).
Maka
dari itu, penulis tertarik untuk mengangkat kasus ini dalam suatu asuhan
keperawatan yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. M Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan: Penyakit Paru Obstruksi Kronis”. Alasan penulis tertarik mengambil
kasus ini adalah karena penyakit ini memerlukan pengobatan dan perawatan yang
optimal sehingga perawat memerlukan ketelatenan untuk dapat memelihara,
mengembalikan fungsi paru dan kondisi pasien sebaik mungkin. Penyakit ini akan
terus mengalami perkembangan yang progresif
dan belum ada penyembuhan secara total. Maka dari itu, perawat terfokus untuk
melakukan perawatan yang meliputi terapi obat, perubahan gaya hidup, terapi
pernafasan dan juga dukungan emosional bagi para penderita penyakit paru
obstruksi kronis (Reeves, 2001).
B. Rumusan Masalah
Rumusan
masalah pada laporan kasus ini adalah “Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Tn. M
Dengan Gangguan Sistem Pernafasan: Penyakit Paru Obstruksi Kronis”.
C. Tujuan
Tujuan umum :
Untuk
memperoleh gambaran nyata tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
Tujuan Khusus :
a.
Mampu melakukan
pengkajian keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
b.
Mampu merumuskan
diagnosa keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
c.
Mampu
merencanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis.
d.
Mampu melakukan
rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis.
e.
Mampu
mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis.
D. Manfaat
Profesi Perawat:
Laporan
kasus ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi tenaga kesehatan untuk
mengadakan penyuluhan tentang kesehatan mengenai PPOK dan bahayanya.
Mahasiswa Keperawatan:
Laporan
kasus ini diharapkan dapat menjadi bahan pustaja yang dapat memberikan gambaran
pengetahuan tentang PPOK.
BAB II
TEORI
A. Definisi
Penyakit
Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronkitis
kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa
disertai hiperaktifitas bronkus dan sebagian bersifat reversible. Bronkitis
kronis ditandai dengan batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran
dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling
sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis secara
abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000).
Penyakit
Paru Obstruksi Kronis adalah suatu penyakit yang ditandai oleh adanya hambatan
aliran udara yang disebabkan oleh bronchitis kronis atau emfisema. Obstruksi
aliran udara pada umumnya progresif non reversible kadang diikuti oleh
hiperaktifitas jalan nafas dan kadangkala parsial reversible (Tierney,2002).
B. Etiologi
Faktor-faktor
yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer
(2000) adalah:
a.
Kebiasaan
merokok.
b.
Polusi udara.
c.
Paparan debu,
asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
d.
Riwayat infeksi
saluran nafas.
e.
Bersifat genetik
yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.
Brasher (2007)
menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru obstruksi kronis adalah:
Merokok merupakan
>90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok mederita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami
penurunan fungsi paru secara cepat.
Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan
resiko penyakit paru obstruksi pada anak. Terdapat peningkatan
resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama prokok. Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu
antitripsin yang diturunkan
yang menyebabkan awaitan awal emfisema.
Infeksi saluran nafas
berulang pada masa anak-anak berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan
resiko tekena PPOK saat dewasa.
Infeksi saluran nafas kronik seperti adrenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK. Polusi
udaran dan kehidupan perkotaan
berhubungan dengan peningkatan resiko
morbiditas PPOK.
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut mansjoer (2000) pada
pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah:
a.
Batuk.
b.
Sputum putih
atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
c.
Sesak, sampai
menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas.
Reeves (2001)
menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah:
Perkembangan
gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang
manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi disaat pagi
hari.nafas pendek sedang yang
berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk
menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi
dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan
sering mengalami infeksi pernapasan dan kehilangan berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien
tersebut tidak akan mampu secara
maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya.
Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara
fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien
PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis, sebagai akibat hilangnya nafsu makan
karena produksi dahak yang makin
melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosisal) penurunan kemampuan
pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigen
sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak
mengeluarkan tenaga dalam melakukan
pernafasan.
D. Patofisiologi
Patofisiologi
menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001) adalah:
Asap
rokok, polusi udara, dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan mengiritasi
saluran nafas.karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang
mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun,
dan lebih banyak lendir yang dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat
menetap selama kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai akibatnya
bronkhioulus menjadi menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta
tersumbatnya karena metaplasia sel goblet dan berkurangnya elastisitas paru.
Alveoli yang berdekatan dengan bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk
fibrosi mengakibatkan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam
menghancurkan partikel asing termasuk bakteri, pasien kemudian menjadi rentan
terkena infeksi.
Infeksi
merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan
menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding
bronkhial menjadi tegang, secara permanen akibat batuk hebat. Sumbatan pada
bronkhi atau obstruksi tersebut menyebabkan alveoli yang ada di sebelah distal
menjadi kolaps. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan
penurunan kapasitas viatl, penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume
residual terhadap kapasitas total paru sehingga terjadi kerusakan campuran gas
yang diinspirasi atau ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
Pertukaran
gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari berkurangnya permukaan
alveoli bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi ini menyebabkan hipoksemia atau menurunya oksigenasi dalam darah. Keseimbangan
normal antara ventilasi aveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo menjadi
terganggu. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan ventilasi tetap sama.
Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental atau bronkospasma menyebabkan
penurunan ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap sama atau berkurang
sedikit.
Berkurangnya
permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan perubahan pada pertukarab
oksigen dan karbondihoksida. Obstruksi jalan nafas yang diakibatkan oleh semua
perubahan patologis yang meningkatkan resisten jalan nafas dapat merusak
kemampuan paru-paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbondioksida.
Akibatnya kadar oksigen menurun dan karbondioksida meningkat. Metabolisme menjadi
terhambat karena kurangnya pasokan oksigen ke jaringan tubuh, tubuh melakukan
metabolisme anaerob yang mengakibatkan produksi ATP menurun dan menyebabkan
defisit energi. Akibatnya pasien lemah dan energi yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi juga menjadi berkurang yang dapat menyebabkan
anoreksia.
Selain
itu jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah permukaan yang tersedia
untuk pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini adalah hiperkapnia,
hipoksemia dan asidosis respiratori. Hiperkapnia dan hipoksemia menyebabkan
vasokontriksi vaskular pulmonari, peningkatan resistensi vaskular pulmonary
mengakibatkan hipertensi pembuluh pulmonary yang meningkatkan tekanan vascular
ventrikel kanan atau dekompensasi vertikel kanan.
E. Klasifikasi
a.
Derajat I: PPOK
Ringan
·
Batuk dan
produksi sputum ada tetapi tidak sering.
·
Sesak nafas
derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1.
·
Spirometri =
Nilai FEV 1 80%.
b.
Derajat II: PPOK
Sedang
·
Gejala sesak
mulai dirasakan saat beraktifitas.
·
Kadang ditemukan
gejala batuk&produksi sputum.
·
Spirometri =
Nilai FEV 1 antara 50-79%.
c.
Derajat II: PPOK
Berat
·
Sesak lebih
berat.
·
Penurunan
aktifitas dan rasa lelah.
·
Spirometri =
Nilai FEV antara 30-49%.
d.
Derajat IV: PPOK
Sangat Berat
·
Ketergantungan
oksigen.
·
Spinometri = FEV
<30%.
F. Pemeriksaan Penunjamg
Pemeriksaan
diagnostik untuk pasien dengan Penykit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges
(2000) anatara lain:
a. Sinar X dada
dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan
area udara retrosentral, penurunan tanda vaskularisasi atau bula (emfisema),
peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode
remisi (asma).
b. Tes fungsi paru
untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal
adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan
untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.
c.
Kapasitas
inspirasi menurun pada emfisema.
d.
Volume residu
meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
e.
Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC.
f. Bronkogram dapat
menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkhial pada
ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkus.
G. Komplikasi
Komplikasi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah infeksi nafas
yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia
kronik, gagal nafas dan kor pulmonal.
Reeves
(2001) menambahkan komplikasi yang utama yang bisa terjadi pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute Respiratory Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada
satu komplikasi kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.
H. Penatalaksanaan Medis
Penatlaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah: Pencegahan yaitu mencegah
kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara. Terapi ekserbasi akut dilakukan
dengan:
a.
Antibiotik,
karena ekserbasi akut biasanya disertai infeksi, infeksi ini umumnya disebabkan
oleh H. Influenzae dan S. Pneumoniae, maka digunakan ampisilin 4 x 0,25-0,5
g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b.
Augmentin
(amoksilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya
adalah H. Influinzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase.
c.
Pemberian
antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksilin atau doksisilin pada pasien yang
mengalami eksasebrasi akut peyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila
terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang lebih kuat.
d.
Terapi oksigen
diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan
berkurangnya sensitivitas terhafap CO2.
e.
Fisioterapi
membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f.
Bronkodilator
untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adregenik. Pada pasien dapat
diberikan salbutamol 5mg dan atau ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan
tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Tn. M 81 tahun dirawat diruang
perawatan di RSUD Pasar Minggu dengan keluhan sesak nafas, sesak timbul saat
beraktifitas, batuk berdahak dan lemas. Pasien sebelumnya bekerja sebagai supir
bemo, pasien mengatakan sebelum sakit merokok 3bungkus setiap hari, pasien
mengeluh cemas dengan keadaannya sekarang. Perawat melakukan anamnesa,
didapatkan hasil: klien tampak melakukan pursed
lip breathing, bentuk dada klien tampak barrel
chest, terdengar suara wheezing saat
di auskultasi, klien mengatakan pusing. Hasil TTV menunjukkan TD: 110/70mmHg;
N: 97x/menit; RR: 29x/menit; Suhu: 36oC. Klien diberikan terapi O2
2liter/menit. Keluarga dan klien tampak cemas dang bingung, keluarga
bertanya mengapa klien bisa terkena penyakit ini. Diagnosa medis klien PPOK,
perawat dan dokter serta paramedis lainnya yang terkait, melakukan perawatan
secara integrasi untuk menghindari atau mengurangi resiko komplikasi lebih
lanjut.
A. Data Fokus
|
Data
Subjektif
|
Data
Objektif
|
|
1.
Pasien mengeluh sesak nafas.
2.
Pasien mengeluh sesak timbul saat
beraktifitas.
3.
Pasien mengeluh batuk disertai
dahak.
4.
Pasein mengatakan sebelumnya
bekerja sebagai supir bemo.
5.
pasien mengatakan sebelum sakit
merokok 3bungkus setiap hari
6.
Pasien mengeluh lemas.
7.
Pasien mengeluh pusing.
8.
Pasien mengeluh cemas dengan
keadaannya sekarang.
9.
Keluarga dan pasien bertanya
kenapa pasien bisa terkena penyakit ini.
|
1.
Pasien tampak melakukan pursed lip breathing.
2.
Dada klien tampak barrel chest.
3.
Terdengar bunyi wheezing saat diauskultasi.
4.
Dahak pasien berupa purulen.
5.
TTV: TD:110/70mmHg; N:
97x/menit; RR: 29x/menit; Suhu: 36oC.
6.
Pasien diberi terapi O2 2liter/menit.
7.
Keluarga dan pasien tampak
cemas.
8.
Diagnosa medis pasien PPOK.
|
B.
Analisa Data
|
No
|
Data Fokus
|
Masalah
|
Etiologi
|
|
1.
|
DS:
1.
Pasien mengeluh sesak nafas.
2.
Pasien memngeluh batuk disertai
dahak.
3.
Pasien mengeluh lemas.
4.
Pasien mengeluh pusing.
DO:
1.
Pasien tampak melakukan pursed lip breathing.
2.
Terdengar bunyi wheezing saat diaskultasi.
3.
Dahak pasien berupa purulen.
4.
TTV: TD: 110/70mmHg; N:
97x/menit; RR: 29x/menit; Suhu: 36oC.
|
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
|
Penyakit paru obstruksi kronis
|
|
2.
|
DS:
1.
Pasien mengeluh sesak nafas.
2.
Pasien mengatakan sesak timbul
saat beraktifitas.
3.
Pasien mengatakan sebelumnya
bekerja sebagai supir bemo.
4.
pasien mengatakan sebelum sakit
merokok 3bungkus setiap hari
5.
Pasien mengeluh lemas.
6.
Pasien mengeluh pusing.
DO:
1.
Bentuk dada pasien tampak barrel chest.
2.
Pasien tampak melakukan pursed lip breathing.
3.
Terdengar bunyi wheezing saat
diauskultasi.
4.
Pasien diberi terapi O2 2liter/hari.
5.
TTV: TD: 110/70mmHg; N:
97x/menit; RR: 29x/menit; Suhu: 36oC.
|
Gangguan pertukaran gas
|
Gangguan suplai oksigen.
|
|
3.
|
DS:
1.
Pasein mengeluh cemas dengan
keadaannya sekarang.
2.
Keluarga dan pasien bertanya
kenapa pasien bisa terkena penyakit ini.
DO:
1.
Keluarga dan pasien tampak
cemas.
|
Defisiensi pengetahuan
|
Kurang informasi
|
C.
Diagnosa
|
NO
|
Diagnosa
|
|
1.
|
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d Penyakit
paru obstruksi kronis.
|
|
2.
|
Gangguan pertukaran gas b.d Gangguan suplai
oksigen.
|
|
3.
|
Defisiensi pengetahuan b,d Kurang informasi.
|
D.
Intervensi
|
Hari/ Tanggal
|
Diganosa Keperawatan
|
Tujuan dan Kriteria Hasil
|
Tindakan Keperawatan
|
|
Kamis/ 25 Mei 2017
|
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d Penyakit
paru obstruksi kronis.
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24
jam bersihan jalan nafas dapat teratasi dengan Kriteria hasil:
1.
Batuk dan klien hilang
2.
Klien mampu bernafas dengan
mudah
3.
Frekuensi pernafasan klien
normal 16-20x/menit
4. Suara
wheezing hilang
|
Mandiri:
1.
Auskultasi suara nafas klien.
2.
Kaji warna, kekentalan dan jumlah
sputum.
3.
Memberikan posisi semi fowler.
4.
Beri pasien cairan 6-8 gelas
cairan/hari.
5.
Ajarkan teknik pernapasan
diafragma dan batuk.
6.
Melakukan fisioterapi dada
dengan teknik fibrasi dada.
7.
Instruksikan pasien untuk
menghindari iritan seperti asap rokok,
aerosol, suhu yang ekstrim dan asap.
Kolaborasi:
1.
Kolaborasi dengan dokter
Pemberian antibiotik.
|
|
Kamis/ 25 Mei 2017
|
Gangguan pertukaran gas b.d Gangguan suplai
oksigen.
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
1x24jam gangguan pertukaran gas pasien dapat teratasi, dengan kriteria hasil:
1.
Frekuensi nafas normal
16-20x/menit.
2.
Adanya penurunan dipsnea.
3.
Menunjukkan perbaikan dalam
laju aliran ekspirasi.
|
Mandiri:
1.
Kaji frekuensi, kedalaman
pernapasan. Catat adanya napas bibir.
2.
Atur posisi semi fowler.
3.
Kaji kulit dan warna membran
mukosa.
4.
Auskultasi bunyi napas. Catat
adanya bunyi tambahan.
5.
Melakukan suction untuk
mengeluarkan sputum.
Kolaborasi:
1.
Berikan terapi O2 2liter/hari.
|
|
Kamis/ 25 Mei 2017
|
Defisiensi pengetahuan b,d Kurang informasi
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24
jam pengetahuan klien meningkat dengan kriteria hasil:
|
Mandiri:
1. jelaskan
klien tentang penyakitnya.
2. Bantu
klien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan jangka pendek; ajarkan pasien
tentang penyakit dan perawatannya.
3. Diskusikan
keperluan untuk berhenti merokok.
4. Berikann
informasi tentang sumber-sumber kelompok.
|
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah salah
satu penyakit yang dapat menyebabkan kematian. WHO juga menyebutkan PPOK
merupakan penyebab kematian keempat didunia. Penyebab utama kematian pada PPOK
adalah konsumsi rokok. Prevalensi terjadinya kematian akibat rokok pada
penyakit paru obstruksi kronis pada tahun 2010 sebanyak 80-90%.
Gejala
PPPOK secara umum ada tiga yaitu, batuk, berdahak dan sesak nafas khususnya
saat beraktifitas. Sedangkan klasifikasi PPOK terdiri dari ringan sedang dan
berat yang diukur berdasarkan pemeriksaan spinometri yang menghasilkan nila VER1.
Faktor risiko utama PPOK antara lain merokok, polutan ditempat kerja, selain
itu ada juga faktor riko lainnya yaitu, genetik, gender, usia, konsumsi
alkoohol dan kurang aktifitas fisik.
B. Saran
Kebiasaan merokok pada pasien PPOK merupakan keluhan
utamanya yang akan mempengaruhi kualitas hidupnya pasien PPOK. Disarankan
pasien mengurangi konsumsi rokoknya dan mengganti dengan memakan permen bila
ada hasrat ingin merokok yang tujuan utamanya adalah untuk mengurangi konsumsi
rokok pada pasien penderita PPOK.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Asih, Niluh Gede
Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah
Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
2.
Brasher,
Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi
Pemeriksaan dan Managemen Edisi 2.
Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
3.
Doenges,
Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
4.
Engram, Barbara.
2000. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah Volume 1. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
5.
Hidayat, Azis
Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia
Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medikal.
6.
Kasanah. 2011. Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Paru
Obstruksi Kronis Eksasebrasi Akut Berdasarkan ICD 10 Pada Dokumen Rekam Medis
Pasien Rawat Inap di RSUD Sragen. Sragen : Jurnal keperawatan.
7.
Mansjoer, Arif.
2000. Kapita Selekta Kedokteran.
Jakarta : EGC buku kedokteran.
8.
Nursalam. 2001. Proses dan Prinsip Keperawatan : Konsep dan
Praktik. Jakarta : Salemba Medika.
9.
Reeves, Charlene
J. 2001. Buku Satu Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta : Salemba Medika.
10.
Keliat, Budi
Anna., Heni Dwi Windarti., Akemat Pawirowiyono, dkk. 2015. NANDA International Inc. Diagnosis Keperawatan:
Definisi&Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
11.
Kusuma, Hardhi.
2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Jogjakarta : MediAction.
